Yang diinginkan rakyat itu sebenarnya adalah sentuhan. Masyarakat itu tidak butuh uang dari seorang pejabat yang mengunjungi mereka. Yang dibutuhkan adalah pejabat mau melihat apa kebutuhan mereka dan didengar apa yang mereka sampaikan, serta perjuangkanlah apa yang mereka minta.

Berikut adalah Hasil Wawancara dengan H. Sudarwanto di Harian Global beberapa waktu yang lalu :

Kenapa Anda tinggalkan dunia pendidikan (guru) dan beralih ke politik?
Sebenarnya begini, skala nasional maupun daerah, perbandingan orang besar dan orang kecil itu kan sama saja. Saya melihat di daerah itu lebih banyak orang kecilnya daripada orang besar. Filosofinya, bagaimana kita bisa mengubah orang kecil itu menjadi orang besar. Yang mau kita ubah itu tidak hanya diri kita sendiri, tapi orang kecil, siapa pun dia.

Jadi bukan sekadar untuk kepentingan diri pribadi?
Tidak. Proses perubahan ini kan harus kita mulai dari orang banyak dulu. Kita beri suatu keikhlasan kepada orang lain, maka suatu saat orang itu akan memberikan keikhlasannya kepada kita. Kata singkatnya, kalau kita menyenangkan orang lain, suatu saat orang lain pun akan menyenangkan kita.

Dengan cara bagaimana Anda mewujudkan keikhlasan kepada orang lain?
Itu tadi, dengan melakukan sentuhan-sentuhan dan memupuk kebersamaan. Pembangunan apapun yang ingin kita wujudkan, harus dilakukan melalui kebersamaan. Tentu saja dengan satu niat, yaitu keikhlasan. Jangan kita mengerjakan sesuatu karena di sana ada pamrih.

Lakukanlah sesuatu karena keikhlasan dan keikhlasan itulah suatu waktu akan kembali kepada kita. Pamrihnya harus ikhlas. Bukan pamrih dalam bentuk “hari ini kita beri lima, besok akan kembali lima juga”. Hari ini saya ikhlas, maka besok akan saya terima keikhlasan yang nilainya bisa tidak terhingga. Bisa saja keikhlasan itu kembali dalam bentuk kecil, bisa juga dalam bentuk besar.

Untuk mewujudkan ini, tentu tidak mungkin bisa berdiri sendiri, butuh sejumlah teman?
Benar. Saya ingat ucapan Soekarno ketika ia ditanya temannya bagaimana bisa membangun negara dalam kondisi memprihatinkan. Jawaban Soekarno ketika itu: “Beri saya lima pemuda, saya akan mampu membangun bangsa dan negara ini.” Bagi saya, lima pemuda ini kan sebuah falsafah. Saya juga seperti itu, saya kumpulkan sejumlah teman yang bisa sejalan dengan saya.

Ketika Anda memutuskan untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap masyarakat, bagaimana istri Anda menyikapi hal ini?
Kebetulan saya dan istri memiliki sikap dan sifat yang sama. Tidak ada masalah dan kami tetap sejalan. Kalau kami ada uang Rp 10, jika itu memang diperlukan untuk kepentingan orang banyak, kami akan memberikannya.

Kembali ke pertanyaan semula, bagaimana proses peralihan dari guru ke dunia politik?
Sebenarnya kegiatan mendidik (guru) berbarengan dengan kegiatan politik saya. Jadi, saya tidak menjalani proses perubahan seketika dari dunia pendidikan ke politik. Ketika mahasiswa pun saya sudah aktif di politik sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Akademi Perindustrian Yogyakarta. Kalau saya katakan saya guru, bukan berarti saya hanya melakukan aktivitas sebagai guru. Saat saya menjadi guru swasta tahun 1985, pada tahun itu juga saya menjadi Ketua KNPI Labuhanbatu.

Tahun berapa berhenti sebagai guru?
Tahun 1999 setelah saya menjadi anggota dewan. Tahun 2004 saya terpilih kembali. Kemudian tahun 2005 saya tinggalkan legislatif setelah terpilih sebagai Wakil Bupati Labuhanbatu periode 2005-2010.

Apa perbedaan yang dirasakan saat menjadi guru, kemudian menjadi anggota legislatif dan selanjutnya menjadi orang nomor dua di Kabupaten Labuhanbatu?
Banyak sekali. Kalau saat guru, kita hanya bisa menerima instruksi. Misalnya cara mengajar dan bahan pelajaran sudah ditentukan, serta fasilitas yang diberikan pemerintah sudah dibatasi. Tapi, ketika saya di legislatif dan sudah menjadi Wakil Bupati, kami bisa memberikan fasilitas yang lebih, sesuai dengan pemikiran saya saat menjadi guru.
(Ia mencontohkan, saat menjadi guru, ada namanya Musyawarah Guru Mata Pelajaran, misalnya pelajaran fisika. Semua guru fisika dikumpulkan di Rantauprapat, untuk membicarakan bagaimana cara menyampaikan pelajaran fisika yang baik kepada siswa.

Untuk ini kan perlu adanya pertemuan yang intensif yang difasilitasi oleh pemerintah. “Ketika menjadi guru, fasilitasi ini kan tidak bisa didapatkan. Tapi, ketika saya sudah di legislatif dan sebagai eksekutif, saya tinggal ngomong, berikan fasilitas,” kata Sudarwanto, suami dari Hj Sabariah dan ayah dari Rizky kuliah di Fakultas Hukum USU Medan, serta Retno mahasiswi Fakultas Kedokteran USU.)

Pemberian fasilitas ini benar-benar bisa Anda wujudkan? Bisa Anda beri contoh?
Ya. Musyawarah Guru Mata Pelajaran ini sudah ada di mana-mana dan mendapat fasilitas yang terakomodir dalam APBD Labuhanbatu. Jadi, tanyakan sendiri bagaimana untungnya guru. Sekarang ini, guru apa pun dia, mereka mendapat dana insentif Rp 100.000 setiap bulannya. Kemudian, kita sudah bisa menyeragamkan program guru sebagai pendidik. Hari-hari saya selalu saya luangkan untuk para guru. Saya selalu bersilaturahmi kepada semua guru.

Saya selalu memotivasi para siswa, di mana pun tempat belajar itu sama. Kurikulum, buku yang dipakai dan seorang guru yang sarjana, semuanya sama. Yang membuat perbedaan hanyalah keinginan belajar. Di Jakarta pun bersekolah, kalau tidak ada keinginan untuk belajar, sama saja.

Menurut Anda, apa sebenarnya yang diinginkan rakyat dari para legislatif, eksekutif maupun judikatif?
Yang diinginkan rakyat itu, sebenarnya adalah sentuhan. Masyarakat itu tidak butuh uang dari seorang pejabat yang mengunjungi mereka. Yang dibutuhkan adalah pejabat mau melihat apa kebutuhan mereka dan mendengar apa yang mereka sampaikan, serta perjuangkanlah apa yang mereka minta. Sejauh itu masih bisa saya perjuangkan, kenapa tidak saya lakukan. Alhamdulillah, walau belum 100 persen, saya sudah berikan perhatian dan layanan kepada masyarakat.

Selama ini kan ada imej bahwa politik itu kejam dan sering main kayu?
Tidak juga, tergantung orang yang melakukannya. Mau kejam juga bisa, mau dibawa manis juga bisa. Namun bagi saya, bagaimana politik itu bisa membangun masyarakat. Saya selalu beranggapan bahwa politik itu sebagai media, bukan tujuan. Benar bahwa politik itu identik dengan kekuasaan, tapi saya berpandangan bahwa kekuasaan harus dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan dijadikan kekuasaan menjadi sesuatu yang sifatnya negatif.

Kalau Anda dalam berpolitik selalu mengandalkan apa yang disebut sentuhan, lantas sentuhan yang bagaimana Anda lakukan untuk menjaga keharmonisan keluarga?
Saya termasuk kasihan dengan diri saya sendiri. Saya lebih banyak dekat dengan masyarakat daripada dengan keluarga sendiri. Anak saya hanya dua, dan kedua-duanya sudah kuliah di Medan. Yang tinggal hanya saya dan istri. Namun, saya merasa bersyukur, walaupun secara kuantitas pertemuan saya dengan anak-anak tidak terpenuhi, tapi anak-anak masih dapat menunjukkan kepatuhannya kepada orangtua. Saya selalu membangun hubungan harmonis dengan keluarga. Bagi saya, keluarga itu sangat penting.

Menjadi Wakil Bupati Labuhanbatu, apakah memang impian Anda?
Dibilang impian, sebenarnya tidak. Semuanya saya dapat karena titian karier. Kalaupun besok saya jadi bupati atau gubernur, itu bukan karena impian, tapi karena karier saya memang meningkat. Artinya apa? Kalau sebuah impian jika tidak tercapai akan memberi dampak pada diri sendiri, misalnya frustrasi. Jadi, bagi saya jabatan bukanlah suatu harapan.

(Saat disibuki dalam aktivitas politik, Sudarwanto tidak lupa mempersiapkan beberapa hektar lahan pertanian sebagai media penyeimbangan jika suatu saat kelak dirinya tidak lagi dapat berperan di kancah perpolitikan. “Saya sudah persiapkan beberapa hektar lahan pertanian. Seandainya pensiun nanti, saya bisa menjadi petani,” kata Sudarwanto yang tidak pernah terpikir untuk mempersiapkan diri sebagai Bupati Labuhanbatu pada periode 2010 mendatang. Ia kini menduduki jabatan Ketua Kahmi Labuhanbatu 2004-2009, Wakil Ketua Golkar Labuhanbatu 2004-2009 dan Ketua FKPPI Labuhanbatu 2006-2011.)

Apa kiat Anda dapat membuat perasaan demikian “plong”?
Rahasianya, segala sesuatu itu harus kita nikmati, jangan dirasakan. Misalnya, daun pepaya pahit dan gula manis. Maksudnya, apapun yang kita makan jika dinikmati, akan enak semuanya. Artinya, segala sesuatu yang terjadi dalam diri kita, jangan pernah kita elakkan. Kalau kita mengelakkannya, besok masalah itu akan datang lagi. Jadi, dihadapi walau sepahit apapun yang akan terjadi.

Apa yang ingin dicapai ke depan?
Ada dua hal yang ingin saya wujudkan pada masa mendatang, yaitu program pendidikan dan pertanian. Saat ini, saya sedang merintis apa yang saya sebut P4S (Pusat Pendidikan Pelatihan Pertanian Swadaya). Saya punya areal empat hektar, di sana ada segala jenis tanaman dan peternakan. Kalau petani datang belajar, juga saya siapkan pondokan. Jadi, P4S ini kelak akan menjadi wadah pendidikan dan pelatihan bagi para petani di Labuhanbatu. Petani datang, pulang akan membawa ilmu.